Senin, 25 Agustus 2008

TIRTA YATRA DI PULAKI

Tirta Yatra di : Pulaki

Perjalanan Spiritual atau Tirta Yatra guide lines

Pulaki adalah sebuah legenda
Pura Pemuteran
Pura Agung Pulaki
Pura Melanting
Pura Kertekawat
Pura Pabean

Pulaki adalah sebuah legenda

Pulaki sering dikaitkan dengan sebuah legenda yang terkenal di kalangan masyarakat Bali yaitu kisah Jayaprana seorang pemuda yang meninggal justru karena memiliki seorang istri yang cantik nan menawan. Kisah ini diyakini memang benar-benar terjadi karena ada kuburannya yang berlokasi di daerah Pulaki. I Nyoman Jayaprana begitu nama lengkap sang pemuda yang berasal dari desa Kalianget. Seorang pemuda ganteng nan menawan selalu menjadi idaman setiap gadis yang menjumpainya. Gadis yang beruntung akhirnya dipersunting oleh sang Arjuna Nyoman Jayaprana bernama Ni Nyoman Layonsari.

Dikisahkan bahwa Nyoman Layonsari juga adalah gadis idaman setiap pemuda yang menjumpainya. Tidak kurang Sang ngawa rat alias Sang Raja sangat menaruh hati kepada Ni Layonsari. Setiap pagi Sang Raja naik ke menara yang berada di bancingah. Dari situ Sang Raja memandang ke arah pasar di mana banyak lalulalang gadis-gadis yang berjualan maupun yang berbelanja di pasar. Dari sekian banyak yang lewat hanya satu yang berkenan di hati Sang Raja, dialah Ni Nyoman Layonsari. Namun Sang Raja kalah cepat dengan I Nyoman Jayaprana. Sang gadis jatuh kepelukan Jayaprana menjadi istri yang berjanji sehidup semati. Keinginan Sang Raja tidak dapat dibendung, sehingga membuat upaya untuk menyingkirkan Nyoman Jayaprana. Melalui utusan, Sang Raja meminta Jayaprana untuk melawan musuh yang konon sudah berada di hutan sebelah barat. Dengan ditemani oleh seorang Patih Sawunggaling, Nyoman Jayaprana akhirnya berangkat walaupun sudah mendapat peringatan dari istrinya yang mendapat firasat tidak bagus. Nyoman Jayaprana meyakinkan istrinya tidak akan terjadi apa-apa namun bila dia tidak kembali dan tercium bau yang sangat harum maka itu artinya jiwanya sudah menuju ke alam sana.

Begitulah kurang lebih kisah itu dan akhirnya Nyoman Jayaprana di kubur langsung di hutan yang tempat ia dibunuh. Kuburan Jayaprana juga tidak kalah terkenal sehingga sering mendapat kunjungan dari masyarakat Bali pada khususnya.

Tempat yang dulu bernama Kuburan Jayaprana sekarang di depan di tepi jalan terpancang nama "PURA PESIMPANGAN PADANDA SAKTI WAWU RAUH" dan selebihnya mohon maaf kami belum mengetahui asal usul nama ini. Namun di dalam Tirta Yatra yang hendak kami ceritakan tidak akan mengikutkan tempat itu.

Pulaki Pemuteran

Pura ini berlokasi di desa Pemuteran yaitu di sebelah timur Sumberkima Buleleng. Dari jalan raya masuk ke arah selatan kurang lebih 300 meter. Pura ini terletak di kaki perbukitan yang di kanan kirinya tumbuh tanaman jagung milik para petani setempat. Pada musim hujan bukit di belakang pura tampak menghijau. Di sebelah kanan tempat parkir kendaraan ada semacam tempat mandi atau mengambil air dan juga dilengkapi dengan WC umum.

Pura ini tidak begitu besar pun tidak terlalu kecil. Desain pura yang menawan oleh seorang arsitek terkenal yang juga mendesain Art Center di Denpasar adalah Ida Bagus Tugur. Warna batu pelinggih yang dominan putih seolaholah menyatu dengan bukit yang ada di belakangnya. Di sekitar pura agak ke belakang terdapat tempat latihan tempur TNI yang pada bulan-bulan latihan agak mengganggu suasana keheningan untuk bersembahyang.

Memasuki gerbang dari Pura Pemuteran pertama kita akan menjumpai pebejian di sebelah kanan kita, Pebejian ini berlokasi pada jaba tengah dari pada pura Pemuteran. Halaman ini penuh dengan bunga-bunga yang ditanam oleh prajuru di sana. Terdapat juga Bale Gong di halaman jaba tengah ini.Untuk masuk ke jeroan kita lewat di depan Bale Gong ini, dan kita akan menjumpai para Jero Mangku yang selalu siap untuk menuntun umatnya untuk bersembahyang di sana. Ada Jero Mangku Surata sebagai Pemangku Gede di sana di samping ada dua Jero Mangku penyade untuk membantu umat menghaturkan bakti. Pura Pemuteran adalah Pura di mana kita akan melakukan PENGELUKATAN untuk menghilangkan kelethehan yang melekat pada diri kita sebelum melakukan serangkaian persembahyangan di wilayah Pulaki.

Untuk melakukan pengelukatan sebaiknya kita persiapkan Banten Pejati dan tegen-tegenan untuk pengelukatan. Untuk niat ini sebaiknya dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan Jero Mangku di sana.Sebelum pengelukatan dilakukan kita diwajibkan untuk melakukan Panca Sembah dan setelahnya dipersilahkan ke jaba sisi untuk melukat. Di pebejian telah siap air untuk melukat yang telah dicampur dengan tirta pengelukatan yang dibuat oleh Jero Mangku. Sekarang siap untuk melakukan pengelukatan, semua destar dan baju safari sebaiknya dibuka. Alangkah baiknya jika kita memakai baju kaos dalam sehingga tidak bertelanjang dada. Untuk para wanita disarankan untuk tidak memakai sanggul sehingga dengan mudah rambut diurai seperti layaknya keramas.Melihat teman-teman yang mendapat pengelukatan paling dulu ingin rasanya segera dilukat. Bagaimana tidak, cuaca yang agak panas pada siang hari membuat kita sedikit kegerahan. Wah segar sekali rasanya melihat teman-teman yang disiram dari kepala hingga mengenai badan. Ya begitulah keinginan itu sampai pada gilirannya kita yang dilukat baru akan merasakan yang sebenarnya. Air di ember penuh dengan bunga warna-warna bersiaplah menundukkan kepala untuk disiram dari ubun-ubun hingga ke punggung. Wow..., rasanya ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Airnya sedikit suam-suam kuku. Menurut penuturan orang Jepang siraman air panas seketika bagus untuk menstimulir tekanan darah. Jadi di samping membersihkan leteh secara spiritual, secara jasmani juga dibersihkan.

Sebelum mepamit kita harus ngaturang sembah sekali lagi menghaturkan rasa terimakasih kita karena telah diberi kesempatan untuk melukat.

Pura Agung Pulaki

Pura Agung Pulaki berlokasi di pinggir jalan raya Gilimanuk Singaraja yang juga disebut sebagai Pura Petirtan. Jika kita mengadakan perjalanan dari arah barat atau dari Gilimanuk maka kita akan melewati Pura Pulaki untuk menuju Pura Pemuteran sehingga kita harus berbalik arah lagi untuk tujuan kedua.

Pura yang dominan dengan ornamen batu yang berwarna hitam juga memiliki jaba tengah. Pura yang menempel di kaki perbukitan ini membawa suasana lingkungan tersendiri ditambah dengan suara ombak laut sekalipun sekali-sekali kita dengar suara kendaraan lewat sehingga lengkaplah suasana yang mendukung keberadaan Pura Agung Pulaki.

Haturan berupa Banten Pejati sebaiknya sudah dipersiapkan, namun tutup keben-nya jangan dibuka agar tidak mengundang anak buah dari Sang Hanoman alias monyet yang banyak berkeliaran di sana. Semua haturan kecuali Canang dan Kewangen sebagai sarana sembahyang dimasukkan ke dalam tempat yang telah dikurung dengan kawat sehingga terhindar dari jamahan monyet-monyet di sana. Tidak perlu terganggu dengan kehadiran monyet-monyet itu karena memang rumahnya di sana. Selama ngaturang sembah para Pemangku Penyade akan menjaga kita dari gangguan monyet-monyet itu. Anak-anak jangan diijinkan untuk membawa makanan di tangan mereka karena akan menjadi jarahan dari sang monyet, bebaskanlah tangan mereka dari makanan-makanan kecil yang dibawa. Demikian juga setelah selesai melakukan persembahyangan jangan membagi-bagikan prasadam atau surudan dari Banten Pejati karena semua akan datang terkecuali kita ingin mengiklaskan semua prasadam itu untuk sang monyet.

Persembahyangan di sini sifatnya biasa tidak ada yang khusus terkecuali kita memang memiliki acara khusus seperti mendak tirta dan lain sebagainya yang lebih spesifik. Lebih di atas dari Pura Agung Pulaki ada pura yang diberi nama Pura Pegaluhan atau Pura Luhur. Kali ini kita tidak sampai ke sana untuk tirta yatra.

Pura Melanting

Berbeda dengan Pura Pulaki lokasi Pura Melanting agak ke dalam dan melintasi hutan-hutan kecil dan rumah-rumah penduduk di sepanjang perjalanan. Namun jalan cukup untuk dilintasi dengan Bus. Halaman Parkir yang cukup luas sehingga kita bebas memilih tempat parkir. Lampu-lampu mercury yang dipasang di tempat parkir sampai ke pintu gerbang pura membuat kita yakin untuk melangkah jika kita tangkil di malam hari. Jalan di sepanjang menuju pintu gerbang cukup bagus. Dari kejauhan tampak keagungan Pura Melanting yang berdiri di kaki bukit yang agak tinggi. Desain arsitektur dari seorang arsitek Ida Bagus Tugur memang luar biasa. Lilitan Naga menuju Pintu Gerbang Utama dihiasi dengan lampu-lampu pada setiap lekukan badan naga mampu menuntun langkah kita untuk menaiki tangga. Sebelum kita melangkah menaiki tangga, kita disarankan untuk ngaturang sembah di Pelinggih Pebejian yang ada sebelah kiri kita di ujung depan tangga naik. Silakan membersihkan pikiran di sana dengan melakukan sembahyang dan setelah itu siap untuk tangkil kehadapan Ida Betara Ratu Mas Melanting.Pura Melanting di Pulaki ini adalah pusat dari seluruh Pura Melanting yang ada di seluruh pelosok Bali. Dari seluruh pasar-pasar dan penyawangan yang ada menyatu di sini di Pulaki.

Setelah melewati Candi Bentar pertama kita masuk ke jaba tengah. Di sini terdapat bangunan yang belum sepenuhnya selesai, namun di malam hari suasana cukup tenang, suasana ini tidak kurang kalau kita tangkil pada siang hari. Areal utama atau Jeroan Pura Melanting lumayan luas. Kalau kita memandang lurus ke depan maka kita melihat sebuah Pelinggih Gedong yang megah dan menawan. Benar-benar hasil karya seorang arsitek kawakan. Tidak perlu tergesagesa, jalankanlah semua prosesi persembahyangan dengan sewajarnya kita tidak akan diburu-buru oleh pemedek yang belum mendapat tempat. Haturkanlah Banten Pejati dengan dupa yang telah dinyalakan. Mungkin di antara kita yang tangkil ada yang biasa Mekidung silakan nembang dengan seksama.

Di sisi kanan dari halaman tengah pura ada tempat khusus untuk melakukan meditasi. Untuk menuju ke tempat ini perlu mendapat bimbingan dari orang yang tahu seluk-beluk Pura melanting. Malam hari adalah waktu yang bagus untuk melakukan acara khusus tersebut.

Pura Kertekawat

Kedengarannya seperti Kerteg Kawat, sehingga seolaholah kita dihadapkan pada sebuah keadaan di mana kita harus melintasi jembatan gantung seperti jembatan sisa jaman Belanda yang ada di Blahbatuh. Ternyata tidak demikian, sebenarnya adalah "Pura Kertekawat". Pura ini berlokasi paling timur dari lima pura yang kita akan tuju di daerah Pulaki . Berbeda dengan pura-pura yang berada di sebelah barat yang hampir sebagian besar didesain oleh Ida Bagus Tugur, maka pura ini bentuk pelinggihnya hampir sama dengan pura-pura yang ada di Bali selatan. Masih tergolong baru dan ditata dengan apik. Kalau kita duduk dan melepaskan pandangan kita maka di balik semua pelinggih adalah perbukitan yang indah dengan dataran di kaki bukit yang ditumbuhi pohon jagung. Lokasi pura ini juga agak jauh dari jalan raya sehingga tidak ada suara mobil yang mengusik keheningan kita untuk bersujud.

Seorang Pemangku akan selalu siap untuk menghantarkan bakti kita dan juga akan siap memaparkan nama-nama pelinggih serta siapa yang melinggih. Tidak ada jaba tengah sehingga begitu masuk kita sudah sampai di halaman paling tengah alias jeroan. Lokasi pura yang datar sehingga kesannya agak ke Bali selatan. Di sinipun kita tidak perlu tergesagesa karena memang lingkungan yang ada mendukung untuk tidak diburu oleh pemedek lain, terkecuali kalau kita tangkil pada hari piodalan.

Pura Pabean

Ini adalah pura terakhir dari rangkaian tirta yatra kita di daerah Pulaki. Pura ini berlokasi di seberang persis dari Pura Agung Pulaki dan di atas tepi laut. Benar-benar indah. Pada sore hari menjelang matahari tenggelam jika kita berada di atas sana maka kita akan menyaksikan betapa indahnya Pulau Menjangan yang tampak dengan jelas. Jalan menuju pura sedikit menanjak, dengan berjalan kaki kita dapat menikmati suara ombak dan suara kendaraan yang lewat. Desain arsitektur pura ini lebih mirip dengan ornamen Cina dan juga di desain oleh Ida Bagus Tugur. Benar-benar indah dan menyenangkan karena sedikit berada pada ketinggian. Duduklah dengan santai setelah semua Banten Pejati dihaturkan, maka pejamkanlah mata sedikit untuk bermeditasi sejenak sembari Jero Mangku menghaturkan persembahan kita. Sebelumnya nyalakan dupa dan asaplah tangan dengan mantram Karasedana. Dengarkanlah deburan ombak di pantai, lemaskanlah otot-otot kita yang sudah kita pacu keliling ke-empat pura lainnya. Rileks sejenak, rasakan vibrasi yang memasuki seluruh sel-sel tubuh kita. Setelah Jero Mangku selesai, kembalilah dari meditasi dan siap untuk menghaturkan Panca Sembah. Segar rasanya setelah keliling lima pura dalam rangkaian bertirta yatra di daerah Pulaki.

Demikianlah acara kita dan saat kembali menuju ke rumah cari tempat yang bagus sambil menikmati pemandangan, kiranya semua prasadam atau lungsuran dapat dinikmati dengan santai.

Catatan :
Jika perjalanan dilakukan dari Denpasar melalui Gilimanuk, sebaiknya juga kalau dilakukan persembahyangan di Pura Rambut Siwi.

© Yayasan Bali Galang 2000 - 2003. All rights reserved.

Tirta Yatra


Tirta Yatra di : Nusa Penida, Pulaki

Perjalanan Spiritual atau Tirta Yatra guide lines

Tirta yatra ke Nusa Penida memberi arti tersendiri. Terasa sangat dalam dan jernih dari hiruk pikuk keduniawian. Perjalanannya diawali dengan berperahu melintasi lautan yang membiru, yang kadang seolah membisu, kadang pula memekik garang menghempaskan ego kita sampai lumat dalam tangis takjub: Betapa kecilnya kita di tengah alam dan sesama ciptaan Ida Sang Hyang Widi. Betapa rindu dan laparnya kita akan perlindungan dan belai kasih beliau. Betapa banyaknya kasih beliau yang terlewatkan sia-sia dalam pergumulan hidup kita sehari-hari, sebanyak riak gelombang yang tiada pernah berhenti detik demi detik, dalam ada maupun ketiadaan perahu yang kita naiki. Terus bergerak dalam pandangan maupun diluar pandangan kita, tiada sedikitpun berbeda iramanya.

Persiapan
Transportasi
Perjalanan
Pura Gua Giri Putri
Pura Kerang Kuning
Pura Dalem Peed
Pura Pucak Mundi

Persiapan

Perbekalan yang perlu dipersiapkan adalah:
Sarana persembahyangan berupa Canang, Kewangen, Dupa atau Wangi wangian, Banten Pejati dan jangan lupa membawa korek api untuk menyulut dupa. Paling sedikit ada 4 tempat di mana kita akan bersimpuh berserah diri, mungkin tidak dapat secara keseluruhan sekaligus. Silakan menentukan yang paling berkenan di hati, mudah-mudahan uraian ini menolong anda menentukan sekala prioritasnya.

Konsumsi jika diperlukan, misalnya air mineral, atau cukup prasadam dari Banten Pejati.
Alas kaki sebaiknya sepatu sandal yang kuat dan tahan air. Sandal saja tidak menjamin tetap setia melekat di kaki pada saat dibawa mencebur ke laut menuju perahu atau turun dari perahu. Kalau harus berkacamata, pasangkan kalung pengaman pada tangkainya. Kalau perlu bungkuslah dahulu dompet anda dengan kantung plastik sebelum masuk ke saku.

Handuk kecil, pakaian ganti untuk sembahyang satu set terutama jika ada acara melukat. Pada musim ombak besar, hampir dipastikan tubuh kita akan tersiram ombak dalam perjalanan menyeberang dengan perahu (jukung) bermotor. Untuk yang tidak biasa berlayar, ada baiknya mempersiapkan penahan mabuk laut karena perjalanan akan cukup melelahkan.

Sebaiknya diusahakan membawa tas yang tahan air untuk menjaga kemungkinan tersimbur ombak saat penyeberangan. Juga dianjurkan model tas yang dapat disampirkan ke bahu, karena kita akan sangat memerlukan kedua tangan kita bebas untuk berpegangan, menyeimbangkan diri, dan membawa banten. Tas pinggang (waist-bag) juga dianjurkan, untuk membawa barang-barang berharga seperti dompet dan telepon genggam, usahakan yang tahan air.

Nusa Penida dapat dijangkau oleh sinyal telepon seluler seperti Telkomsel dan lainnya, tetapi sebaiknya diset getar atau bisu (silent-mode) agar tidak mengganggu kekhusukan doa. Disarankan tiap rombongan mengusahakan paling sedikit satu telepon seluler, untuk keadaan tidak terduga, karena sarana telepon umum belum mencukupi.

Baju hangat bagi yang hendak mengunjungi pura Pucak Mundi, boleh dirangkap karena suhu dapat mencapai sekitar 10 derajat selsius pada malam hari musim kemarau ditambah tiupan angin yang cukup kuat.
Peralatan penerangan untuk di gua berupa lampu senter (flash-light), periksa kondisi baterainya.
P3K sesuai keperluan, seperti balsem gosok, tetes mata, obat anti mabuk laut, obat luka, atau sejenisnya.
Last but not least, adalah kesiapan mental spiritual, istirahat secukupnya sebelum perjalanan dimulai.

Transportasi

Satu satunya jalur trasportasi yang tersedia adalah transportasi melalui laut. Ada berbagai cara untuk sampai di tempat tujuan:

Jika kita ada kelebihan rejeki, maka kita dapat membeli ticket Bounty Cruise namun hanya tersedia untuk hari hari khusus seperti Purnama, Tilem, Piodalan atau hari raya. Berangkat dari pelabuhan Benoa diantar sampai dermaganya Bounty dekat Nusa Penida selanjutnya ditransfer dengan menggunakan boat kecil demikian pula sebaliknya.

Melalui pelabuhan Padang Bai. Jangka waktu penyeberangan lautnya akan lebih pendek. Tetapi bagi yang berasal dari Denpasar, jalur darat dari Denpasar ke Padang Bai umumnya ditempuh dalam waktu yang lebih panjang karena lalulintasnya sangat padat.

Melalui pantai Sanur. Jukung (perahu) bermotor tersedia hampir setiap waktu. Rata-rata dengan kapasitas muatan 30 sampai 60 orang. Yang lebih besar berupa kapal / boat berkapasitas sampai 120 orang.

Di Nusa Penida tersedia transportasi darat berupa pickup yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang, dapat disewa untuk rombongan (charter). Kendaraan ini dapat memuat 11 orang dengan posisi duduk menghadap ke samping berhadap-hadapan. Memang tidak terlalu nyaman, di sinilah biasanya kita memerlukan pembersih mata (eye-drops) dan balsem untuk melemaskan otot leher setelah melakukan perjalanan menyamping (karena kita tidak menghadap ke arah laju kendaraan).

Perjalanan

Pada hari hari besar seperti Piodalan, Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, lalu lintas menuju Nusa Penida selalu lebih padat daripada hari hari biasa, demikian pula akhir pekan. Perjalanan tirtayatra non massal sebaiknya menghindari hari hari tersebut. Perjalanan sebaiknya dalam kelompok sekitar sebelas orang supaya dapat mencarter satu kendaraan bersama satu rombongan.

Dalam keadaan cuaca cerah dan angin tidak begitu kencang perjalanan dapat ditempuh dalam satu setengah sampai dua jam dari pantai Sanur. Apabila perjalanan diawali pada pukul 8 pagi, sampai di tujuan sekitar pukul 10 pagi. Ada dua pelabuhan di Nusa Penida, satu di sebelah barat di Toya Pakeh dan satu lagi di timur. Keduanya tidak menjadi persoalan. Sediakan waktu satu jam untuk menyegarkan diri, re-orientasi (menyatu dengan alam) atau meregangkan otot kaki setelah penat duduk di papan menyilang yang sempit di perahu motor. Perjalanan ke Gua Giri Putri dapat dimulai pukul 11 siang, dengan pickup penumpang perjalanan akan memakan waktu sekitar 35 menit.

Pura Gua Giri Putri

Pura ini berada di dalam gua Giri Putri. Letaknya sangat spesifik dan mengesankan. Sebelumnya persiapkan banten yang akan dipersembahkan. Perlengkapan sembahyang seperlunya, flash-light serta korek api. Bawaan yang tidak diperlukan dapat ditinggalkan di kendaraan, karena perjalanan kaki selanjutnya agak berat. Jangan lupa tas bahu berisi handuk kecil dan pakaian ganti, apabila direncanakan dilakukan pengelukatan dalam prosesi ini. Kita akan mendaki trap (anak tangga) yang cukup tinggi menuju ke mulut gua. Tanggalkan alas kaki sesampai di mulut candi bentar pelataran depan gua. Di pelataran ini terdapat pelinggih berupa Padmasana serta bangunan penyangga berupa tempat penyimpanan peralatan upakara. Pemandangan pantai dan lautan dari pelataran yang amat tinggi ini sangat indah! Persembahyangan dimulai pada pukul 12 siang, waktu yang tepat untuk ber-Tri-Sandia setelah pengayatan dihaturkan oleh Ida Dane Mangku, sebelum Panca Sembah. Lebih dari 80 umat dapat ditampung dalam pelataran ini.
Diameter mulut gua tidak lebih dari 70 cm dan berlekak-lekuk penuh tonjolan batu. Arahnya hampir vertikal sehingga kita harus turun ke dalam lubang itu seperti masuk ke dalam sumuran. Setelah kedua kaki kita menjejak dasar sumuran, kita harus berjongkok untuk bisa berjalan ke arah horisontal ke depan. Ketinggian gua hanya cukup untuk separuh ketinggian kita, tetapi semakin melebar secara horisontal. Perjalanan jongkok ini hanya sepanjang 3 atau 4 meter karena sisi atas gua semakin meninggi. Dengan demikian, sebaiknya diatur agar beberapa anggota rombongan mengawali turun ke gua, berikutnya pembawa banten, dibantu oleh anggota yang sudah di dalam gua, baru disusul oleh yang lainnya.

Semakin dalam kita memasuki gua, semakin lebar ruangan gua. Meski tidak cukup terang, di beberapa tempat di dinding gua telah dipasang lampu-lampu listrik. Meskipun di luar matahari bersinar seterik-teriknya di tengah hari, tetapi di dalam, tanpa pertolongan lampu senter, kita tidak akan dapat melihat di mana kaki kita berpijak. Perjalanan dengan kaki telanjang harus dilakukan secara hati-hati, karena permukaan jalan di dalam gua agak lembab dan licin. Permukaan ini dibentuk oleh tumpukan kotoran kelelawar dan beberapa jenis burung yang juga menghuni gua selama ribuan tahun. Beberapa cerukan kecil dan dalam yang dapat mengakibatkan terkilirnya pergelangan kaki, patut diwaspadai. Apabila tidak tersedia lampu senter, cobalah menghubungi prajuru pura untuk menyediakan pelayanan penerangan dengan menggunakan lampu Stormking (lampu petromax) dalm jumlah terbatas.
Semakin jauh kita masuk ke dalam gua, ruangannya menjadi semakin lebar dan tinggi. Sebagai gambaran, gua ini mungkin dapat menampung seribu orang sekaligus di dalamnya.

Sebelum menuju Pelinggih Utama, agak dekat dari mulut gua kita akan menjumpai sebuah pelinggih di tengah ruangan, seperti aling aling yang lazim terdapat pada gerbang utama.Dari pelinggih inilah prosesi di dalam gua Giri Putri dimulai. Selesai melakukan penghayatan pemedek melanjutkan ke Pelinggih Utama yang berlokasi di perut gua, yaitu pertengahan antara kedua ujung awal dan akhir gua. Pada ujung paling akhir gua Giri Putri yang panjangnya kira-kira 300 meter ini terdapat pula pelinggih pada sisi dinding sebelah kanan dari arah kita masuk.

Di perut gua yang luas ini, terdapat cerukan gua lain yang permukaan lantainya lebih tinggi. Seakan-akan sebuah mezzanine khusus untuk orkestra di lobby besar sebuah hotel. Pelinggih-pelinggih utama terletak di bagian atas tersebut. Di sana juga terdapat sumber air suci untuk tirta Pengelukatan. Bagian atas ini dapat kita capai melalui sebuah tangga besi yang sempit, yang disandarkan pada dinding gua di bawahnya. Karena luas lantainya tidak begitu besar, kapasitasnyapun terbatas. Biasanya cukup diwakili oleh para pemimpin upakara atau pemangku, sedangkan pemedek yang lainnya cukup menghaturkan sembah dari bawah yaitu lantai gua utama saja.
Di bagian bawah di mana para pemedek menghaturkan sembah juga terdapat satu pelinggih dan tempat untuk melakukan pengelukatan.Acara persembahyangan dapat dilangsungkan sesuai dengan jenis acara yang hendak dilaksanakan. Ada semacam kesegaran dan kesan pencerahan luar biasa setelah kita keluar dari gua Giri Putri. Kesan ini merupakan tambahan semangat spiritual untuk melanjutkan perjalanan bakti berikutnya.Perjalanan dilanjutkan ke pura Trisakti di Kerang Kuning.


Pura Kerang Kuning

Kompleks Pura Kerang Kuning terletak di ujung selatan pulau Nusa Penida. Perjalanan menggunakan kendaraan penumpang ke pura ini dapat ditempuh dalam waktu setengah jam dari Pura Gua Giri Putri. Di areal ini terdapat tiga buah pura sehingga sering disebut pura Tri Sakti. Sebagaimana Pura Gua Giri Putri, pura ini juga berlokasi di tepi dekat laut. Yang dominan di sini adalah pemujaan terhadap Sang Hyang Baruna, yang beberapa kali dalam sejarahnya termanifestasi dalam bentuk pendaratan Ulam Agung atau gajah-mina. Di sini dilakukan persembahyangan biasa, dituntun oleh Ida Dane Mangku. Kapasitas pura sekitar 60 umat lebih.

Pura Dalem Ped

Dari pura Kerang Kuning, perjalanan berbalik arah, kembali ke pura Dalem Peed melewati lagi rute sebelumnya yaitu pura Gua Giri Putri. Pura Dalem Peed adalah kompleks pura terbesar di Nusa Penida. Sebelum memulai persembahyangan mungkin perlu untuk menyegarkan badan dan mental terlebih dahulu, mengurangi penat akibat dari perjalanan sebelumnya. Seperti biasa, bawaan yang tidak diperlukan hendaknya ditinggalkan di kendaraan, karena terdapat areal parkir yang cukup luas. Di areal sebelah selatan lokasi parkir kendaraan terdapat kamar mandi untuk pemedek yang biasanya mekemit sampai keesokan paginya. Sayang sekali kebersihan dan pemeliharaannya sangat memprihatinkan. Di seberang jalan terdapat warung warung yang menjual makanan, yang juga menyediakan kamar mandi yang disewakan. Setelah beristirahat sejenak acara persembahyangan dapat dilanjutkan.

Di kompleks ini terdapat empat buah pura, yaitu Pura Segara, Pura Taman Sari, pura Ratu Dalem Gede (Mecaling). dan Pura Penataran Agung. Mari kita mulai sesuai urutan di atas.

Pura SegaraPura ini berlokasi paling dekat dengan laut. Areal pura tidak begitu luas. Dengan suasana pantai dan deburan ombak saat mata terpejam dalam keheningan suara ini membangkitkan vibrasi tersendiri. Acara persembahyangan berlangsung sebagaimana biasanya. Kapasitas pura kira-kira 40 umat.

Pura Taman SariDari pura Segara, kita melanjutkan ke taman begitu kira kira yang bertujuan untuk penyucian. Pura ini berlokasi disebelah timur atau sebelah kanan dari Pura Penataran Agung. Seperti namanya Pura ini dikelilingi oleh kolam yang dibuat cukup dalam, dan areanya juga tidak begitu luas. Kolam di sekeliling pura penuh dengan tanaman teratai yang berbunga indah. Acara persembahyangan biasa. Kapasitas pura sekitar 30 orang.

Pura Dalem Ida Ratu Gede MecalingPura ini ada di sebelah kiri dari Pura Pentaran Agung, di sebelah utara Wantilan. Seperti juga kita lihat Pura Dalem Sakenan, pura dalem linggih Ida (tabik pukulun) Ratu Gede Mecaling ini tidak terdapat banyak pelinggih. Satu pelinggih utama dan disebelah kiri pelinggih penyangga. Kapasitas pura cukup besar. Acara persembahyangan sebagaimana biasanya.

Pura Penataran Agung Dalem PeedPura yang lumayan luas dan dengan penataan yang bagus. Terdapat banyak pelinggih berjajar pada sisi sebelah timur dan sebelah utara. Agak ke tengah berdiri sebuah gedong besar. Terdapat Padmasana di timur laut menghadap ke barat daya. Acara persembahayangan dilaksanakan di sekitar areal Padmasana di sebelah utara dari pelinggih gedong tadi

Pura Pucak Mundi

Puncak Bukit Mundi adalah tempat tertinggi di daratan Nusa Penida. Perjalanan ke Puncak Mundi cukup nyaman, permukaan aspal jalan cukup bagus. Hampir keseluruhan perjalanan adalah mendaki dan cukup curam, karena itu diperlukan kondisi kendaraan yang prima. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam. Sesampai di tujuan, semua barang bawaan sebaiknya dibawa serta, karena barang yang ditinggalkan di kendaraan akan menjadi obyek jarahan kera, yang banyak terdapat di lokasi ini. Pada malam hari suhunya cukup dingin. Jika ada acara spiritual yang cukup lama memakan waktu, sebaiknya mengenakan baju penghangat tubuh. Di lokasi ini terdapat dua pura penting yaitu pura Puncak Mundi dan Pura Krangkeng

Pura Krangkeng KertanadiDengan tuntunan dari Spiritual Leader di tempat ini kita dapat menanyakan ada tidaknya leluhur kita yang masih harus menjalani masa untuk tinggal , mencari tahu soroh atau dari klen mana sebenarnya keberadaan kita, Nuntun Leluhur, dan Ngaturang pengayubagia. Tentunya memerlukan persiapan tertentu dan prosesi khusus karena yang seperti ini bukanlah persembahyangan biasa.

Pura Pucak Bukit MundiMerupakan pura Penataran Agung dengan jaba sisi, jaba tengah dan jeroan (paling dalam) Ada perbedaan sedikit dari pura lainnya dimana pura ini jaba tengahnya lebih luas dari areal jeroannya sendiri. Ada banyak bale pekemitan baik di jaba sisi maupun di jaba tengah. Persembahyangan umum dilakukan di sini.Biasanya yang lebih umum, urutan tangkil di Nusa Penida, persembahyangan di Puncak Mundi dilaksanakan sebelum ke Pura Dalem Peed.

TRI SANDHYA

Marilah kita memuja Tuhan, Ida Hyang Widhi WaƧa

Pemujaan kepada Tuhan dapat dilaksanakan dengan banyak cara. Salah satu di antaranya ialah dengan bersembahyang tiap hari. Kita yang beragama Hindu bersembahyang tiga kali sehari, pagi, siang dan malam hari. Sembahyang demikian disebut sembahyang Trisandhya. Mantram yang dipakaipun disebut mantram Trisandhya.

Mantram ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, bahasa orang Hindu jaman dahulu. Kita boleh bersembahyang dengan duduk bersila, duduk bersimpuh atau berdiri tegak sesuai dengan tempat yang tersedia. Sikap duduk bersila disebut padmasana. Sikap duduk bersimpuh disebut bajrasana dan yang berdiri disebut padasana.
Setelah sikap badan itu baik, dilanjutkan dengan pranayama. Pranayama artinya mengatur jalannya nafas. Gunanya: untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan mengikuti jalannya pikiran, bila pikiran dan badan sudah tenang maka barulah mulai bersembahyang.

Sikap tangan waktu bersernbahyang disebut sikap amusti. Mata memandang ujung hidung dan pikiran ditujukan kepada Sanghyang Widhi. Dalam keadaan seperti itu, sabda, bayu, idep harus dalam keadaan seimbang.

Sebelum mengucapkan mantram, kedua tangan kita bersihkan dengan mantram demikian:

Tangan Kanan Mantranya:

Om suddha mam svaha
Om bersihkanlah hamba

Tangan Kiri Mantranya:

Om ati suddha mam svaha
Om lebih bersihkanlah hamba



Mantram Trisandhya

1 Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat

Om adalah bhur bhuvah svahKita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita

2 Om Narayana evedwam sarvam
yad bhutam yac ca bhavyam
niskalanko niranjano nirvikalpo
nirakhyatahsuddho deva eko
narayana na dvitiyoasti kascit.

Om Narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua

3 Om tvam siwah tvam maha devah
Iswarah parame svarah brahma
visnusca rudrascapurusah parikirtitah

Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa

4 Om papo'ham papaka rmaham
papatma papasam bhavah
trahi mampun dari kaksa
sabahyabhyantarah sucih

Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlan jiwa dan raga hamba

5 Om ksamasva mam mahadeva
sarvaprani hitankara
mam moca sarva papebhyah
palayasva sada siva

Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sang Hyang Widhi

6 Om ksantavyah kayiko dosah
ksantavyo vaciko mama
ksantavyo manaso dosah
tat pramadat ksamasva mam

Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Om. damai. damai, damai, Om.

Kapan Weda mMulai Ada?

Kapan Veda Mulai Ada?
Veda adalah kitab suci Agama Hindu yang tertua. Bila kitab ini mulai ada tidak diketahui orang dengan pasti. Pendapat para sarjana bermacam-macam tentang hal ini. Ada yang berpendapat kitab ini mulai ada 1.200 tahun Sebelum Masehi, ada yang mengatakan 2.400 SM. Ada pula yang berpendapat lain lagi.

Orang-orang Hindu jaman dahulu jarang meninggalkan catatan- catatan yang bernilai sejarah. Kitab Veda diterima orang dari mulut ke mulut turun-temurun dari masa lampau yang tidak diketahui orang. Penulisan kitab Veda dengan huruf Devanagari adalah dari masa yang jauh kemudian. Orang percaya bahwa kitab suci ini diajarkan oleh Tuhan kepada para Rsi. Maka ia bukan buatan orang. Dari ajaran Veda inilah ajaran agama Hindu mengalir. Jiwa agama Hindu adalah jiwa ajaran Veda. Walaupun perubahan telah banyak terjadi, jiwa ajaran Veda tidak pernah berhenti memancarkan cahanya.